News  

Beri Diskon Besar-besaran, Penjual di E-Commerce China Raup Untung di Pasar Korsel

Sejumlah penjual di e-commerce China, yang dihadapkan pada lemahnya konsumsi dalam negeri, menarget konsumen di Korea Selatan yang terdampak inflasi dan menginginkan barang-barang dengan harga rendah meskipun kemungkinan akan pelanggaran hak asasi manusia terkait produksi barang-barang tersebut terus membayangi.

Pembelian e-commerce Korea Selatan dari perusahaan-perusahaan di China seperti AliExpress dan Temu, akan melampaui pembelian online dari Amerika Serikat untuk pertama kalinya pada tahun ini jika lonjakan penjualan terus berlanjut pada kuartal keempat.

Dalam tiga kuartal pertama tahun ini, masyarakat Korea Selatan melakukan pembelian online senilai lebih dari $3,5 miliar dari penjual di luar negeri. Menurut Layanan Bea Cukai Korea Selatan, China menyumbang 46,4% dari pembelian tersebut, sedangkan AS menyumbang 29,1%.

Jumlah tersebut merupakan peningkatan lebih dari 100% dalam pembelian online Korea Selatan dari China, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, demikian menurut Business Korea. Pertumbuhan itu berlangsung meskipun terjadi penurunan sebesar 8,2% pada keseluruhan ekspor China ke Korea Selatan pada bulan Oktober dibandingkan tahun lalu, menurut data bea cukai China yang dikutip oleh Business Korea.

Louis Kuijs, kepala ekonom Asia Pasifik di S&P Global Ratings yang berfokus pada e-commerce, dan menjabat sebagai ekonom senior di Bank Dunia di Beijing dari tahun 2004 hingga 2011. Ia mengatakan kepada VOA melalui email, “Tidak terlalu mengejutkan bahwa beberapa perusahaan mencoba menjualnya ke luar negeri, terutama karena permintaan konsumsi di China tidak tumbuh dengan cepat.”

Konsumsi dalam negeri yang melesu

Konsumsi China terus mengalami kelesuan di tengah krisis real estat dan merosotnya nilai ekspor. Pada bulan Oktober, harga barang-barang konsumen mulai merosot, mulai dari kopi hingga daging babi, sementara hampir di semua tempat lainnya, kenaikan harga mengejutkan konsumen pada setiap perjalanan berbelanja.

“Meningkatnya penjualan e-commerce di luar negeri merupakan hal positif bagi perekonomian China,” kata Robert Walker, ekonom di Pusat Pengembangan Indo-Pasifik Lowy Institute Australia yang berfokus pada negara-negara berkembang di Asia.

Walker melanjutkan, “Namun, konsumsi e-commerce asing sepertinya tidak akan cukup untuk mengimbangi perlambatan ekonomi China secara keseluruhan atau lemahnya konsumsi domestik secara signifikan.”

Pengecer online China seperti AliExpress, Temu, dan Shein telah mengandalkan inflasi di negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang untuk membuat barang-barang murah mereka menarik bagi konsumen yang sadar akan harga.

Di Korea Selatan, pengecer tersebut merupakan aplikasi belanja teratas, yang paling cepat mencapai 2 juta unduhan antara bulan Agustus dan Oktober.

Temu — yang memulai debutnya di Korea Selatan dan Jepang pada bulan Juli — dan Shein juga merupakan dua aplikasi teratas di Jepang, mencapai 4 juta unduhan pada periode yang sama.

“Pertanyaan bagi platform e-commerce China adalah apakah mereka dapat mempertahankan pangsa pasar tersebut ketika inflasi menurun dan perekonomian negara maju membaik, atau konsumen di Korea [Selatan] dan negara-negara lain kembali ke platform e-commerce yang menawarkan barang-barang yang lebih mahal namun berkualitas lebih tinggi ,” kata Troy Stangarone, direktur senior di Korea Economic Institute.

Tuduhan kerja paksa

Temu dan Shein dituduh menggunakan kerja paksa di China untuk memproduksi barang dengan biaya rendah.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pada bulan Juni, Perwakilan AS Mike Gallagher, ketua Komite Terpilih DPR untuk urusan Partai Komunis China, mengatakan Temu dan Shein menggunakan celah dalam undang-undang tarif AS – salah satu ketentuan yang disebut de minimis pada Undang-Undang Tarif 1930 – untuk menjual barang-barang manufaktur yang menggunakan kerja paksa kepada pelanggan AS. Tindakan ini melanggar Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur (UFLPA).

Ketentuan de minimis memungkinkan barang yang diimpor oleh satu orang dalam satu hari dengan harga di bawah $800 untuk melewati Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan AS dengan pemeriksaan terbatas.

Pada bulan Desember 2021, Presiden AS Joe Biden menandatangani UFLPA, yang memperkuat larangan yang ada terhadap impor barang-barang AS yang dibuat oleh pekerja paksa di wilayah otonomi Xinjian Uyghur di China.

Kantor Gallagher, pada hari Senin (13/11), kepada VOA melalui email mengatakan bahwa “model bisnis Temu tampaknya diatur untuk mengeksploitasi standar de minimis yang memungkinkan impornya dari AS menghindari pengawasan.”

Gallagher dalam sebuah pernyataan yang dikirim melalui email oleh kantornya mengatakan, “Saya mendorong negara-negara yang menganut nilai-nilai Amerika Serikat, seperti Jepang dan Korea Selatan, untuk memperhatikan dengan cermat perusahaan ini yang bisa membanjiri pasar mereka dengan barang-barang yang tercemar oleh kerja paksa dan merusak industri dalam negeri mereka.” [my/fw]

Sumber: www.voaindonesia.com