News  

Dana Hasil Korupsi Masih Jadi Sumber Pencucian Uang Terbesar Tahun Ini

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam jumpa pers, Rabu (28/12) mengatakan sepanjang tahun ini tercatat adanya transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 183,9 triliun. Hal itu baru dari 1.544 laporan transaksi keuangan mencurigakan saja.

“Risiko terbesar sumber dana terkait dengan pencucian uang itu masih diduduki oleh tindak pidana korupsi dan narkotika. Tindak pidana korupsi yang sudah ditangani PPATK itu sudah dilakukan sebanyak 225 hasil analisis. Ini tindak pidana paling berisiko terkait tindak pidana pencucian uang dengan total miminal transaksinya adalah Rp 81.313.833.664.754,” kata Ivan.

Ivan menambahkan modus yang paling sering dan paling banyak dilakukan untuk menampung dana dari tindak pidana korupsi itu adalah melalui pembukaan polis asuransi, banyaknya nominal juga masuk pada instrumen pasar modal, dan penukaran dalam bentuk valuta asing.

Dana hasil korupsi juga disamarkan dengan dimasukkan ke dalam rekening atas nama anggota keluarga, penggunaan rekening orang dekat (seperti asisten rumah tangga dan sopir pribadi), dan penggunaan rekening perusahaan. Uang hasil korupsi juga biasanya ditempatkan di rekening deposito atas nama pribadi dan dipakai untuk membayar pinjaman yang diajukan oleh pelaku untuk menyamarkan hasil korupsi.

Menurut Ivan, sumber dana pencucian uang terbesar kedua sepanjang tahun ini berasal dari kejahatan narkotika. Selama tahun 2022, PPATK sudah menghasilkan 76 hasil analisis terkait transaksi mencurigakan dari tindak pidana narkotika dengan total nilai Rp 3,5 triliun.

Seorang pegawai valas di perusahaan penukaran valas di Jakarta sedang menghitung uang dollar, 23 Oktober 2018. (Foto: Reuters)

Modus yang sering digunakan oleh jaringan narkotika untuk pencucian uang adalah penggunaan rekening nominee, pengendalian transaksi peredaran narkotika dari dalam penjara, dan penggunaan perusahaan transfer dana ilegal.

Dia menyebutkan PPATK juga terlibat dalam satuan tugas kasus korupsi BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) dalam rangka penyitaan aset-aset terkait.

Secara keseluruhan, lanjut Ivan, PPATK tahun ini menghentikan sementara 2.112 rekening terkait transaksi kejahatan dengan nilai saldo yang dihentikan sekitar Rp 1,7 triliun. Dari jumlah tersebut, PPATK menghentikan sementara 101 rekening terkait kejahatan korupsi dengan total saldo Rp 89,7 miliar.

ICW : Modus Operasi Pencucian Uang Makin Canggih

Menanggapi laporan refeksi akhir tahun 2022 yang disampaikan oleh PPATK tersebut, staf Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan dana hasil korupsi masih menjadi sumber pencucian uang terbesar.

Pertama, modus operandi dari pencucian uang semakin canggih. Salah satu contohnya melalui penggunaan instrumen pasar modal. Ini terjadi di beberapa kasus korupsi, seperti pada 2021 kasus korupsi PT Asabri. Itu menggunakan instrumen pasar modal dan Bitcoin untuk menyamarkan aset-aset kejahatannya,” ujar Diky kepada VOA.

Semakin canggihnya modus operandi pencucian uang itu makin memudahkan pelaku korupsi untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.

Faktor kedua adalah minimnya komitmen penegak hukum dalam menggunakan pasal pencucian uang dalam perkara rasuah. ICW tahun lalu mencatat dari 1.404 terdkawa kasus korupsi, hanya sebelas orang yang dituntut menggunakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Padahal undang-undang itu dibuat untuk membantu penanganan kasus korupsi, antara lain untuk melacak dan merampas aset-aset hasil korupsi. Selain itu, lanjut Diky, yang masih menjadi masalah klasik adalah penegak hukum lambat menindaklanjuti laporan transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh PPATK.

Menurut hasil analisis ICW, modus pencucian uang lainnya paling sering dilakukan oleh pelaku korupsi, terutama untuk menyamarkan aset-aset hasil kejahatannya, adalah penggunaan rekening anggota keluarganya untuk menampung dana hasil korupsi.

Diky juga menyoroti jarangnya penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang oleh penegak hukum untuk menjerat pelaku. Ia khawatir minimnya kemampuan aparat penegak hukum dalam hal pengetahuan pelacakan aset, pengetahuan mengenai pasal pencucian uang, dan sebagainya, menjadi penyebabnya. Karena itu, dia menyarankan penegak hukum mestinya bekerjasama dengan PPATK dalam melacak aset-aset hasil korupsi namun sinergitas itu tidak dilakukan dengan baik.

Untuk mencegah koruptor mencuci uang hasil korupsi, Diky menekankan peran PPATK sangat penting untuk mendeteksi transaksi keuangan yang mencurigakan, mengutamakan pencegahan selain penindakan. Untuk itu kemampuan aparat penegak hukum dalam mengendus modus pencucian uang oleh pelaku korupsi harus terus ditingkatkan. [fw/em]

Sumber: www.voaindonesia.com