News  

Hilirisasi Nikel, Siapa yang Untung dan Siapa yang ‘Buntung’?

Ambisi pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik, membuat hilirisasi nikel, salah satu bahan baku pembuat baterai kendaraan listrik, masif dilakukan. Namun, apakah benar klaim pemerintah yang menyatakan hilirisasi industri tambang mineral ini bisa menjadikan Indonesia negara maju?

JAKARTA – Sebagai negara dengan penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, masif melakukan eksplorasi mineral tambang dengan harapan bisa menghasilkan nilai tambah yang dapat menguntungkan negara. Namun, sejumlah penelitian menyebutkan bahwa, hilirisasi mineral penting kerap menimbulkan persoalan serius.

Berdasarkan laporan Climate Rights International (CRI) yang dirilis 17 Januari, salah satu industri nikel terbesar yang saat ini dioperasikan oleh PT Indonesia Nikel Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menyebabkan deforestasi, pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan.

“Laporan kami menemukan bahwa ada dampak yang serius yakni diantaranya ada pelanggaran HAM terhadap masyarakat lokal. Selain itu, aktivitas industri ini juga telah merusak lingkungan yang mana itu berkontribusi pada krisis iklim,” ungkap peneliti CRI Krista Shennum, di Jakarta, Rabu (17/1), dalam acara hasil pemaparan riset CRI yang berjudul “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel Indonesia terhadap Manusia dan Perubahan Iklim”,

IWIP merupakan gabungan dari tiga perusahaan yang berasal dari China yakni Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt dan Zhenshi Holding group. Selain ketiga pemegang saham ini, kini semakin banyak perusahaan yang mengumumkan rencana mereka untuk membangun fasilitasi industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

Krista menjelaskan, selama kurang lebih satu tahun pihaknya telah mewawancarai 45 narasumber yang tinggalnya berdekatan dengan kegiatan peleburan (smelting) di IWIP dan pertambangan nikel di Halmahera. Berdasarkan kesaksian mereka, kata Krista, perusahaan-perusahaan yang berkepentingan kerap mengintimidasi warga untuk menjual lahan mereka dengan harga jauh di bawah rata-rata pasar. Jika menolak, perusahaan pun tidak segan menggunakan oknum kepolisian atau militer untuk menakuti-nakuti masyarakat.

“Terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh IWIP maupun perusahaan tambang dalam proses akuisisi lahan masyarakat. Warga lokal bilang kepada kami bahwa lahan mereka telah dirampas, mereka hanya diberikan kompensasi yang kecil atas lahan yang mereka miliki karena tidak bisa melakukan negosiasi harga yang layak. Mereka diintimidasi oleh polisi dan militer agar mereka mau menjual tanahnya,” jelasnya.

Kegiatan penambangan nikel di daerah tersebut, lanjut Krista, juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup serius. Hutan tropis seluas 5.331 hektare, katanya, telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera. Hal ini melepaskan 2,04 metrik ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan itu.

Masyarakat sekitar pun, menurut Krista, pada akhirnya kehilangan mata pencaharian tradisional mereka sebagai nelayan dan petani. Warga sekitar, katanya juga kehilangan akses terhadap air bersih yang biasanya bisa mereka dapatkan dengan mudah di sungai-sungai dekat tempat tinggal mereka. Air sungai dan laut saat ini sudah sangat tercemar oleh limbah dari kegiatan industri nikel raksasa ini.

Dalam kesempatan yang sama , Zakki Amali Research Manager Trend Asia mengatakan alih-alih menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, IWIP malah mengoperasikan 14 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di luar jaringan (captive) s) untuk mendukung kegiatan hilirisasi nikel tersebut.
Celakanya lagi, kata Zakki, PLTU tersebut menggunakan batu bara kualitas rendah sehingga polusi yang dihasilkan lebih buruk.

“Bayangkan kalau alat pengukur pencemarandipasang di Morowali, di IWIP, (polusi) Jakarta itu tidak ada apa-apanya. Bahkan gabungan emisi dari industri dan emisi kendaraan yang ada di Jakarta itu tidak ada apa-apanya dengan jumlah emisi yang dihasilkan PLTU di sana,” ungkap Zakki.

Berdasarkan laporan yang ada kapasitas PLTU captive di kawasan IWIP mencapai lebih dari 1.000 megawatt. Jadi, kata Zakki, bisa dibayangkan bahwa polusi udara yang ditimbulkan oleh PLTU ini berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar.

“Jadi sebetulnya data-data yang ada itu menurut saya bias karena tidak menceminkan seluruh emisi yang ada di Indonesia terutama di titik-titik dimana terjadi produksi nikel yang konon untuk kebutuhan transisi energi,” sambungnya

Pemandangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu produsen nikel terbesar di Konawe Utara. (Foto: RIZA SALMAN/AFP)

Dalam penelitian yang dilakukannya, sejumlah perusahaan global kendaraan listrik seperti Tesla dan Ford juga mendapatkan nikel dari Indonesia. Namun, menurutnya, kedua perusahaan ini kerap tidak mengakui hal tersebut.

“Jadi ada dua kawasan industri nikel di Indonesia yang sama-sama menyuplai nikel ke Ford, Tesla dan lain sebagainya. Dan mereka sama-sama tidak mengakuinya. Jadi, salah satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam riset CRI ini adalah tentang bagaimana nikel dari kawasan industri nikel terbesar kedua di Indonesia yaitu IWIP melakukan suplai melalui perusahaan di China kemudian dari China akan menjual hasil olahan nikel ke seluruh dunia termasuk ke Amerika dan Eropa,” jelasnya.

CRI pun memberikan beberapa rekomendasi kepada pihak terkait agar upaya untuk melakukan transisi energi yang lebih ramah lingkungan tidak mengorbankan pihak mana pun. Untuk pemerintah Indonesia, kata Krista, CRI merekomendasikan beberapa hal termasuk penghentian izin untuk semua pembangkit tenaga listrik batu bara baru termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan di kawasan industri; memastikan agar penambangan, peleburan dan semua kegiatan terkait tidak menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.

Adapun rekomendasi untuk IWIP dan semua perusahaan-perusahaan dan peleburan nikel di Halmahera Tengah dan Timur adalah memberikan kompensasi secara penuh dan adil bagi seluruh anggota masyarakat yang terlibat konflik lahan dengan perusahaan pertambangan atau kawasan industri; memastikan bahwa masyarakat adat memberikan Persetujuan Atas Dasar Keputusan Bebas Didahulukan dan Diinformasikan (FIPC) secara penuh sebagaimana diwajibkan oleh hukum internasional.

“Kita bukannya mengatakan tidak pada kendaraan listrik. Tetapi ini sangat penting dan esensial bagi masyarakat lokal di Indonesia agar tidak dikorbankan hanya demi bisa menjadi pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik,” tegas Krista. [gi/ab]

Sumber: www.voaindonesia.com