News  

Indonesia-Malaysia Sepakat Perangi Diskriminasi Sawit, Komitmen Deforestasi Dipertanyakan

Kepala Kampanye Hutan Greepeace Indonesia Kiki Taufik mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo untuk memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit ketika bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, menimbulkan pertanyaan besar di benak masyarakat internasional mengenai komitmen pemerintah Indonesia dalam menghentikan deforestasi hutan.

Kiki menjelaskan, memang Jokowi tidak menyebut secara gamblang mengenai kebijakan Uni Eropa yang menetapkan Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) yang menyebabkan penolakan produk kelapa sawit dari Indonesia. Namun, ia menduga pernyataan diskriminasi yang dilontarkan Jokowi tersebut mengarah kepada kebijakan Uni Eropa tersebut.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara. (Foto: Courtesy/Dokumen Pribadi)

“Kalau saya melihatnya begini, justru malah sebenarnya dengan pernyataan ini menjadi tanda tanya oleh masyarakat global, apakah komitmen zero deforestasi, komitmen menghentikan deforestasi oleh pemerintah Indonesia itu, apakah betul-betul ada atau enggak. Itu kan jadi pertanyaan? Padahal di sisi lain, pemerintah selalu menyampaikan prestasinya bahwa deforestasi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir turun. Meskipun itu patut dipertanyakan,” ungkap Kiki kepada VOA.

Kiki berpendapat, seharusnya pemerintah Indonesia tidak menganggap EUDR sebagai tindakan yang diskriminatif, karena sejatinya pengurangan deforestasi hutan merupakan komitmen global,termasuk Indonesia. Selain itu, katanya, dalam aturan EUDR, produk komoditas yang dilarang bukan hanya sawit, tetapi mencakup produk komoditas yang dianggap menyebabkan deforestasi hutan seperti kopi, karet, kedelai dan sebagainya. Selain itu, regulasi tersebut juga melarang komoditas yang dihasilkan lewat deforestasi hutan setelah 2020.

“Jadi regulasi ini melarang komoditas yang dihasilkan lewat deforestasi setelah 2020, atau yang tidak memenuhi syarat ketertelusuran rantai pasokan untuk memasuki pasar Uni Eropa. Jadi pelaku usaha sawit di Indonesia seharusnya tidak terlalu sulit. Cukup membuktikan bahwa sudah tidak ada deforestasi di konsesi mereka setelah tanggal 31 Desember 2020 sesuai dengan EUDR ini,” tuturnya.

EUDR, menurutnya, seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi momentum yang bagus bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa memang sudah tidak terjadi deforestasi hutan setelah 31 Desember 2020. Berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, laju deforestasi hutan dari 2019 hingga 2021 cenderung menurun, meskipun faktor penyebabnya patut dipertanyakan.

“Jadi satu pihak Indonesia mengklaim bahwa deforestasi turun, di satu pihak (Uni Eropa bilang) ya sudah ayo buktikan sawitnya bebas (deforestasi hutan). Tapi Indonesia tiba-tiba berpikir bahwa oh tidak bisa (menganggap diskriminasi). Jadi kan tanda tanya dong, benar gak deforestasinya turun?,” jelasnya.

Seorang pekerja menurunkan buah kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit di Gambut Jaya, Provinsi Jambi. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via REUTERS)

Seorang pekerja menurunkan buah kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit di Gambut Jaya, Provinsi Jambi. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via REUTERS)

Lebih jauh, Kiki menyatakan bahwa produk sawit bisa menjadi sebuah produk komoditas yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Greenpeace Indonesia dan Uni Eropa, kata Kiki, sebenarnya tidak anti terhadap produk yang dihasilkan dari kelapa sawit. Bahkan, katanya, jika dibandingkan dengan komoditas lain, sawit membutuhkan lahan lebih kecil sehingga keefektifan dan produktivitasnya sebagai sumber minyak pun lebih bagus.

Lalu bagaimana caranya agar produk dari kelapa sawit tersebut bisa diterima di Eropa dan menjadi sebuah produk yang berkelanjutan? Menurutnya, pemerintah dan pengusaha sawit harus fokus kepada lahan yang sudah tidak berhutan, dan tidak membuka kebun sawit di wilayah gambut karena akan mudah terbakar.

Selanjutnya, harus ada bukti yang harus disampaikan kepada masyarakat bahwa tidak ada lagi land grabbing atau pemaksaan penguasaan lahan oleh perusahaan sawit dalam proses pembukaan kebun kepala sawit. Selain itu, perusahaan sawit juga harus memastikan tidak ada lagi eksploitasi terhadap para pekerjanya.

Seorang gadis mendorong gerobak saat bekerja di areal perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau, 16 September 2015 (Foto: AFP/Adek Berry)

Seorang gadis mendorong gerobak saat bekerja di areal perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau, 16 September 2015 (Foto: AFP/Adek Berry)

“Pastikan itu, kemudian buat sistem monitoringnya sehingga masyarakat di belahan dunia manapun akan paham dan akan confident, bahwa sawit yang dikonsumsi itu ramah lingkungan, tidak terlibat dengan deforestasi, dia tidak dibangun di wilayah gambut, tidak terlibat dengan perebutan hak masyarakat adat, kemudian juga tidak mengeksploitasi pekerja. Itu kan sistemnya, dan tata kelola sawit yang kita kejar,” tegasnya.

“Selama ini proses monitoring kan selalu tertutup, harusnya terbuka. Ini yang menjadi titik tekan bahwa di sini kan sebenarnya ini momentum untuk memperbaiki tata kelola dan meningkatkan transparansi. Jadi transaparansi yang saya sampaikan harusnya diwujudkan setelah ada ada undang-undang ini,” katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai keputusan Indonesia dan Malaysia dalam membentuk CPOC merupakan langkah strategis. Bahkan, menurutnya, pembentukan persekutuan antara Indonesia-Malaysia ini akan meningkatkan bargaining position (posisi tawar menawar) kedua negara agar produk kelapa sawitnya bisa diterima Uni Eropa.

Pekerja Indonesia Abdul Rahim Gani, 32, memotong buah di rumahnya dekat perkebunan kelapa sawit di Felda Bukit Cerakah di distrik Klang, di luar Kuala Lumpur, 16 April 2014. (Foto: REUTERS/Samsul Said)

Pekerja Indonesia Abdul Rahim Gani, 32, memotong buah di rumahnya dekat perkebunan kelapa sawit di Felda Bukit Cerakah di distrik Klang, di luar Kuala Lumpur, 16 April 2014. (Foto: REUTERS/Samsul Said)

Ia menilai, selama ini bargaining position pemerintah Indonesia cukup lemah. Padahal. katanya, kelapa sawit selama ini ditanam di hutan yang sudah tidak berfungsi. Fahmy menganggap alasan Uni Eropa tidak berdasar.

“Pembentukan persekutan dengan Malaysia saya kira bagus dalam rangka meningkatkan bargaining position, kemudian untuk meningkatkan ekspor sawit, atau olahan dari sawit dan seterusnya. Saya kira ini cukup bagus dan efektif, karena Indoensia dan Malaysia dua negara yang penghasil sawit terbesar di dunia,” kata Fahmy kepada VOA.

Fahmy menuturkan, alasan penolakan produk sawit dari Indonesia oleh Uni Eropa karena faktor lingkungan bisa diperdebatkan. Ia mengatakan, penggundulan hutan sudah sejak lama terjadi di Indonesia, dan angkanya terus menurun.

“Dari zaman Soeharto sudah habis hutan kita. Kemudian dioptimalkan, ditanami dengan sawit, sehingga replanting sawit sesungguhnya tidak menghabisi hutan. Karena hutan yang sudah gundul dan kemudian tidak ada proses penanaman kembali hutan, kemudian dipakai tanaman sawit, itu yang saya maksud debatable,” katanya.

“Tapi tidak cukup juga kalau sawit hanya menggunakan bekas hutan. Maka perlu cari lahan baru dan sudah dilakukan oleh Indonesia. Saya kira Malaysia juga melakukan hal yang sama. Apalagi banyak perusahaan sawit Malaysia di Indonesia,” lanjut Fahmy.

Ia berharap kerja sama dengan Malaysia bisa membuktikan bahwa alasan lingkungan yang dilontarkan sudah tidak relevan. Fahmy yakin, di masa depan, Indonesia dan Malaysia akan menjadi pemimpin pasar produk kelapa sawit dunia.

“Kalau dua negara ini menguasai, atau terbesar di dunia, maka mereka bisa menjadi market leader dan bisa mendikte, bukan hanya didikte seperti sekarang,” pungkasnya. [gi/ab]

Sumber: www.voaindonesia.com