News  

Indonesia Masih Berharap KTT G20 Menghasilkan Deklarasi Bersama antar Pemimpin

Hingga hari terakhir pertemuan Sherpa G20, Indonesia masih optimis sebuah Deklarasi Pemimpin akan bisa dilahirkan. Ada atau tidaknya komitmen bersama dari para pemimpin negara nanti tampaknya kini bergantung pada kondisi geopolitik yang saat ini terjadi.

Pertemuan Sherpa G20 berlangsung di Jimbaran, Bali, pada 11-14 November dan hingga hari terakhir, Indonesia masih berjuang agar sebuah deklarasi bisa dilahirkan. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menyatakan pertemuan pada Senin (14/11), menjadi kesempatan terakhir untuk meminta komitmen pemimpin G20 dalam upaya bersama memulihkan ekonomi dan Kesehatan, pasca pandemi COVID-19.

“Teman-teman sherpa semua negara sepakat mengupayakan menghasilkan output document atau yang sering kita sebut leader’s declaration terutama untuk KTT G20 Indonesia 2022. Itu tujuan utamanya. Masih berproses, masih berjuang,” kata Susiwijono pada Minggu (13/11/).

Susiwijono menyebut, pertemuan seluruh delegasi Sherpa berjalan dinamis. Ia meyakini seluruh partisipan memiliki semangat untuk berkomitmen sembari memperjuangkan kepentingan setiap negara, dikaitkan dengan kondisi geopolitik saat ini.

KTT puncak sendiri akan digelar mulai Selasa (15/11), dan karena itu Indonesia tinggal memiliki waktu satu hari untuk mendorong seluruh negara agar sepakat menelurkan sebuah komitmen bersama dalam bentuk deklarasi.

Sejauh ini, pertemuan Sherpa G20 telah menghasilkan lampiran (annex) yang disebut concrete deliverables. Concrete deliverables tersebut secara teknis akan ada dalam Basket 1 dan Basket 2. Hasil pembahasan lebih lanjut akan menjadi lampiran dari deklarasi pimpinan, dengan kurang lebih 226 proyek maupun inisiatif di dalamnya. Dari jumlah itu, 115 proyek atau inisiatif terkait dengan prioritas isu Presidensi Indonesia 2022.

“Arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digital, yang ketiga transisi energi plus isu ketahanan pangan. Itu yang kita desain menjadi proyek inisiatif yang konkret terutama untuk membantu, solusi menyelesaikan berbagai krisis dunia seperti pangan, energi, dan finance,” tambah Susiwijono.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riza Noer Arfani mengingatkan bahwa forum G20 adalah forum non-bidding, sebuah forum yang sifatnya memberi setting norma.

“Kalau tujuannya adalah membentuk norma, maka sebetulnya deklarasi tidak terlalu penting, komunike bersama tidak terlalu penting. Kecuali memang kalau yang dibayangkan sebelumnya adalah norma ini nanti bisa mengikat dalam bentuk-bentuk yang lebih regulatif,” kata Riza kepada VOA, Senin (14/11).

Riza, yang terlibat mendampingi digital economy working group G20 kali ini, melihat bahwa kerja-kerja di gugus kerja itu sudah mengarah kesana.

“Ini cukup mengikat, dalam pengertian nanti bisa menjadi platform untuk menyepakati regulasi-regulasi yang terkait dengan working group-nya itu. Tetapi memang dalam konteks sekarang ini, tampaknya susah sekali,” tambah Riza.

“Secara substantif, sebetulnya 90 persen negara-negara anggota G20 di working group itu sudah sepakat. Tetap yang 10 persen, ini berkaitan dengan geopolitik. Jadi, pada akhirnya di digital economy working group pun tidak ada deklarasi. Tidak ada komunike, yang ada hanya chair summary,” tambah Riza memberi contoh.

Tetapi menurut Riza, pencapaian itu sudah cukup baik. Menurutnya, Indonesia tidak perlu kecewa, jika pada akhirnya tidak ada deklarasi atau komunike Bersama para pemimpin G20.

Presiden AS Joe Biden Tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai pada 13 November 2022, untuk menghadiri KTT G20 di Nusa Dua, Bali. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)

“Kita sudah tunjukkan kepada masyarakat internasional, pada anggota G20, komitmen kita memegang presidensi selama setahun ini. Kita sangat serius membawa forum ini untuk menjadi semacam katalis, untuk pemulihan ekonomi global, juga pemulihan kesehatan, dan yang paling mendesak adalah komitmen pada perubahan iklim yang ditunjukkan dengan strategi transisi energi,” ujar Riza.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan juga menyinggung soal ini.

“Belum pernah saya kira G20 diselenggarakan dalam situasi dunia sekompleks sekarang ini. Kalau pada akhirnya nanti tidak melahirkan leader communique, saya kira tidak apa-apa,”ujarnya.

Di luar soal komunike itu, menurut Luhut ada banyak prestasi yang dicapai

“Lebih dari 361 titik yang kita hasilkan, berbagai macam dan itu billion of dollar kalau dihitung dari segi ekonomi, baik itu dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang dekarbonation, banyak hal lain yang bisa kita capai,” tambah Luhut.

Luhut mengakui, komunike pemimpin G20 memang sesuatu yang penting. Tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu upaya nyata yang bisa dilihat hasilnya dari pertemuan negara-negara anggota G20 ini.

“Kita masih berharap ada beberapa waktu ke depan, mungkin ada komunike yang bisa keluar, tapi kalau tidak ya itulah keadaannya. Tapi paling tidak selama pertemuan ini kita bisa membuat suasana itu lebih baik,” tegasnya. [ns/rs]

Sumber: www.voaindonesia.com