News  

Pelita Harapan dalam Melawan Junta Myanmar

“Mata uang digital berperan penting dalam mendukung Spring Revolution di Myanmar,” menyusul kudeta militer pada Februari 2021, kata Wakil Menteri Perencanaan, Keuangan dan Investasi, Min Zayar Oo, dalam pernyataannya kepada VOA.

Menteri Oo ditunjuk oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang terdiri dari anggota pemerintahan Myanmar yang dipilih secara demokratis dan sejumlah penentang junta.

Namun, mata uang digital dari Bank Sentral itu bisa menjadi pedang bermata dua, di mana rezim otoriter dapat menggunakannya sebagai alat pengawasan dan sensor keuangan.

“Keuntungan utama bagi aktivis pro-demokrasi adalah, kenyataan bahwa mata uang ini dikelola bebas dari kendali pemerintah, yang memungkinkan individu menawarkan dukungan kepada penerima yang dipilih secara diam-diam, tanpa mengungkapkan identitas mereka,” kata Aung Paing, pakar mata uang digital dan pemimpin divisi keterlibatan mitra strategis di lembaga Independent Research Network (IRN).

NUG memperkenalkan mata uang digitalnya sendiri, DMMK (Digital Myanmar Kyat) tahun lalu, sebagai upaya kreatif untuk melewati bank yang dikendalikan oleh junta. Menurut pernyataan baru-baru ini, NUG hampir membentuk bank online sendiri, Spring Development Bank, yang menggunakan mata uang digital dan menarget pendukung NUG serta diaspora Myanmar sebagai pelanggannya.

DMMK digunakan baik secara lokal maupun internasional melalui aplikasi dompet seluler, “NUGPay.” Pada bulan Juni lalu, NUGPay merilis laporan tahunan pertamanya bahwa, satu tahun setelah peluncuran, total transaksi dalam aplikasi telah mencapai hampir $150 juta dolar.

Alat pembebasan atau opresi

Di saat mata uang digital menjadi alat yang berguna dalam gerakan prodemokrasi untuk mematahkan kontrol rezim otoriter, mata uang digital juga dapat dimanfaatkan oleh para rezim otoriter itu sendiri, ujar Win Ko Ko Aung, peneliti hak asasi manusia di Bitcoin Policy Institute.

“Secara global, sejumlah tirani telah menggunakan warisan sistem keuangan untuk meredam aktivis dan warga sipil,” kata Aung kepada VOA melalui sambungan telepon.

“Mata uang digital milik Bank Sentral seperti DMMK memiliki potensi untuk memperluas agenda rezim otoriter,” tambahnya.

Kekhawatiran akan privasi telah membuat sejumlah negara seperti AS untuk mengadopsi versi digital yang tersentralisasi dari mata uangnya, namun negara-negara seperti China telah meningkatkan penggunaan mata uang digital untuk mengawasi transaksi individu dalam masyarakat yang semakin terhubung.

“Saya rasa orang-orang meremehkan bagaimana kekuatan dari pengawasan finansial dapat berdampak pada kehidupan mereka,” ujar Chris Meserole, direktur lembaga Brookings Artificial Intelligence and Emerging Technology Initiative, dalam sebuah acara di Washington pada 27 September lalu.

“Mereka [pemerintahan otoriter] pada dasarnya dapat mengubah rumah anda menjadi sebuah penjara,” lanjutnya. “Karena jika Anda tidak bisa … pergi ke manapun dan bertransaksi di dunia, mereka pada dasarnya memiliki … kekuatan yang membelenggu terhadap setiap individu.” [ps/rs]

Sumber: www.voaindonesia.com