News  

Pemerintah akan Segera Larang Penjualan Rokok Eceran

Setelah pemberlakukan kebijakan kenaikan cukai tembakau, pemerintah akan segera melarang penjualan rokok secara eceran di masyarakat. Presiden Jokowi menegaskan, rencana tersebut dilakukan semata-mata demi kesehatan masyarakat. “Ya itu kan untuk menjaga kesehatan masyarakat kita semuanya,” tegas Jokowi.

Presiden menjelaskan, beberapa negara bahkan sudah terlebih dahulu menerapkan kebijakan serupa. Menurutnya, hanya Indonesia yang masih memperbolehkan penjualan rokok secara eceran.

Pemerintah berencana melarang penjualan rokok secara batangan mulai tahun 2023. Rencana tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 23 Desember 2022.

Dalam Keppres itu disebutkan bahwa pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 soal Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam penjelasannya, peraturan baru tersebut nantinya akan mengatur tujuh poin, salah satunya soal pelarangan penjualan rokok batangan.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi lewat pesan tertulisnya kepada VOA mengapreasiasi kebijakan tersebut. Tulus menilai larangan penjualan rokok eceran tersebut bisa menjadi salah cara pengendalian yang efektif untuk menekan tingkat prevalensi merokok di Indonesia, khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak-anak dan remaja.

Rokok dan minuman dalam kemasan bubuk milik seorang penjual rokok ketengan di pasar tradisional di Jakarta, 31 Mei 2019. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Larangan penjualan secara eceran, katanya, bisa meningkatkan efektivitas cukai rokok dalam menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok. “Pasalnya, rokok saat ini masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau,” ungkap Tulus.

Tulus menambahkan, larangan penjualan rokok secara eceran juga sejalan dengan semangat yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, distribusinya harus dibatasi.

“Tapi yang harus diawasi adalah praktik di lapangan seperti apa, dan apa sanksinya bagi yang melanggar. Jangan sampai larangan penjualan ketengan ini menjadi macan ompong,” tuturnya.

Petani Tembakau: Kebijakan Pengendalian Konsumsi Rokok Selalu Mencekik Petani

Sementara itu, Ketua Liga Tembakau Zulvan Kurniawan menuturkan selama ini kebijakan pengendalian konsumsi tembakau atau rokok selalu menekan petani dan cenderung tidak adil. Menurutnya, jika memang pemerintah ingin mengatur konsumsi rokok sampai ke tingkat pengecer mikro, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang membuat petani tembakau diperlakukan dengan baik.

Ia mencontohkan, pemerintah bisa membuat kebijakan yang adil ketika sebuah produsen membeli bahan baku kepada petani dengan harga yang sudah diatur.

“Misalnya tembakau di tiap-tiap daerah berbeda varietas dan harganya. Nah itu pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan daerah A menjual ke pabrik A, atau ke pabrik B, pabrik C dengan harga berapa. Semuanya ditentukan mekanisme pasar yang cenderung tidak adil. Tata niaga (pertanian) kita masih belum baik untuk semua komoditas pertanian, dari pertanian apa pun,” ungkapnya.

Cukai Hasil Tembakau dinilai belum bermanfaat banyak bagi petani. (Foto: Courtesy/APTI)

Cukai Hasil Tembakau dinilai belum bermanfaat banyak bagi petani. (Foto: Courtesy/APTI)

Selain itu, menurutnya jika memang ingin menurunkan tingkat prevalensi perokok anak, pemerintah seharusnya meningkatkan edukasi kepada masyarakat terlebih dahulu.

“Apakah harus serinci ini pengendalian tembakau di Indonesia? (Seharus) ada peran serta masyarakat yang dilibatkan, bagaimana pembinaan anak-anak. Ya kalau memang anak-anak belum boleh merokok, ya sudah. Tapi bagaimana pembinaannya? Tidak usah diurus ke hilir sampai ke retail yang paling kecil, karena itu bisa menjadi alasan bagi produsen untuk ngomong ke petani sebagi produsen bahan baku “jualan saja semakin susah, tidak mungkin harganya bisa naik lagi,” jelasnya.

“Lebih baik edukasi saja sebagai pelaksanaan PP no 109. Jadi, OK usia 18 tahun ke atas yang boleh merokok. Ya sudah diedukasi habis-habisan. Tapi kan kita tidak pernah melakukan itu,” pungkasnya. [gi/ab]

Sumber: www.voaindonesia.com