Pemerintahan Kanselir Jerman Olaf Scholz pada hari Selasa (29/8) menyetujui program keringanan pajak besar-besaran bagi para pengusaha dalam upaya membangkitkan perekonomian Jerman yang terpuruk.
Program itu akan meringankan beban “usaha kecil dan menengah hingga sekitar tujuh miliar euro (sekitar Rp115,4 triliun) per tahun,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Meski partai-partai koalisi telah melakukan tawar-menawar mengenai besaran potongan pajak dalam beberapa bulan terakhir, perekonomian Jerman tetap datar.
Negara dengan perekonomian terbesar di Eropa itu mengalami stagnasi pada kuartal kedua 2023, setelah mengalami resesi pada pergantian tahun.
Perlambatan itu terjadi di kala Jerman berjuang mengatasi dampak invasi Rusia ke Ukraina sejak tahun lalu, yang menyebabkan lonjakan harga energi dan pangan.
Angka pertumbuhan yang lamban itu menjadi alasan pemerintah Jerman mengambil langkah “ofensif,” kata Scholz dalam konferensi pers pada hari pertama pertemuan tingkat menteri di luar Berlin.
Pemotongan pajak, yang merupakan bagian dari 10 poin rencana pemerintah, dimaksudkan untuk “merangsang pertumbuhan negara kita” dan memastikan perusahaan-perusahaan membuat keputusan untuk berinvestasi di Jerman, kata Scholz.
Langkah-langkah yang disepakati antara lain pemberian premi untuk investasi penghematan energi dan perubahan peraturan untuk memudahkan perusahaan menghapus kerugian.
‘Potensi Perubahan Haluan’
Data yang mengecewakan baru-baru ini menambah kekhawatiran bahwa Jerman akan menurunkan kinerja ekonomi zona euro tahun ini. Dana Moneter
Internasional (IMF) memperkirakan Jerman akan menjadi satu-satunya negara maju yang mengalami kontraksi pada tahun 2023.
“Kami menganggap serius pertumbuhan Jerman yang kurang dinamis dibandingkan negara lain,” kata Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner dalam konferensi pers.
Meski demikian, negara itu memiliki “potensi besar untuk berubah haluan,” yang dapat terwujud melalui paket keringanan pajak tersebut, kata Lindner.
Dampak buruk itu sangat dirasakan selama beberapa bulan terakhir dalam sektor industri utama Jerman, akibat anjloknya tingkat ekspor di tengah tingginya inflasi dan lesunya aktivitas global.
Harga konsumen naik 6,2 persen pada bulan Juli – turun dari puncaknya tahun lalu, namun masih tergolong sangat tinggi.
Sementara itu, pemulihan pascapandemi COVID-19 di China, yang merupakan mitra dagang utama Jerman, telah kehilangan banyak momentumnya.
Dengan prospek yang masih suram, pemerintah mendapat tekanan untuk melakukan reformasi yang lebih menyeluruh guna memberikan semangat baru bagi perekonomian.
Krisis baru-baru ini telah “memperdalam masalah struktural yang telah ada sejak lama,” kata pelobi industri berpengaruh, BDI, baru-baru ini.
Beberapa kekhawatiran yang dirasakan kalangan pengusaha antara lain biaya energi yang tak kunjung turun, peraturan yang rumit, minimnya tenaga kerja yang terampil, dan lambatnya peralihan ke ekonomi digital.
Pemerintah Jerman berusaha mengatasi beberapa masalah itu dengan 10 poin rencana mereka, yang juga menekankan upaya untuk mempercepat peningkatan kapasitas energi terbarukan dan langkah-langkah untuk mengurangi birokrasi.
Juni lalu, Jerman mengesahkan undang-undang yang mempermudah aturan keimigrasian bagi para tenaga kerja ahli untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dalam seluruh industri. [rd/ka]
Sumber: www.voaindonesia.com